Etika dalam Menyampaikan Informasi Kini Telah Pudar


DOMPU,KMWADUNGGAPI - Etika tidak hanya dibutuhkan dalam kehidupan bersosialisasi terhadap lingkungan kita. Etika dibutuhkan di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia komunikasi. Hal ini pun telah dibentuk dalam berbagai kode etik profesi yang berkaitan dengan komunikasi di Indonesia. Fungsinya tak lain adalah sebagai pedoman dalam memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya oleh media, untuk menjaga agar hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dapat terpenuhi. Namun sangat disayangkan, media yang ada sekarang ini justru lebih mengarahkan usahanya sebagai komoditas di dalam dunia bisnis. Akibatnya, etika kerap kali terbengkalai dan terkalahkan oleh pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi, atau budaya.
Dalam cara berpikir industri, informasi pertama-tama dianggap sebagai barang dagangan, sehingga misi utama media untuk mengklarifikasi dan memperkaya debat demokrasi pun musnah (Haryatmoko, 2007: 20). Informasi hanya dianggap sebagai alat untuk meraih keuntungan sebesar mungkin, bahkan media terkadang mengorbankan profesionalismenya demi menampilkan sesuatu yang lebih sensasional atau spektakuler agar dapat meningkatkan nilai jualnya. Akibatnya, kerja wartawan yang berada di dalam media tersebut pun kini seakan hanya terbatas pada mempublikasikan kehidupan selebritis dan orang-orang penting yang laku dipasaran. Hal ini menunjukkan betapa kejamnya dunia bisnis terhadap kelangsungan hidup komunikasi melalui media yang sesungguhnya. Bahkan banyak pimpinan media datang dari dunia perusahaan bukan dari dunia jurnalisme, dan harus diakui bahwa mereka tidak peka terhadap tuntutan informasi yang sesungguhnya.
Pudarnya etika dalam tubuh media menyebabkan fenomena yang tampak seperti logika simulasi, dimana orang tidak akan dapat mencapai kebenaran karena antara realitas, representasi, hiperrealitas, atau tipuan tidak dapat dibedakan lagi (Haryatmoko, 2007: 22). Hal ini pun memacu timbulnya mimitisme, yaitu gairah yang mendorong media untuk meliput kejadian karena media lain, yang menjadi acuannya, meliput berita tersebut. Anehnya, dalam situasi ini, berita yang diliput belum tentu penting. Ketergesaan untuk meliput kejadian yang sama ini muncul hanya karena adanya persaingan antarmedia untuk menjadi orang pertama yang memberitakannya.
Yang dimaksud dengan etika di dalam pembahasan ini tidak hanya terbatas pada apa yang disampaikan kepada publik. Jelas bahwa kebenaran dan keakuratan isi berita merupakan hal utama yang harus diperhatikan dalam proses penyampaian informasi tersebut. Namun perlu diingat bahwa bahasa yang dipergunakan, pilihan gambar yang ditampilkan, serta kejadian-kejadian yang difokuskan dalam pemberitaan juga perlu dipertimbangkan kembali sebelum digunakan untuk membentuk berita tersebut. Frekuensi dan sudut pandang pemberitaan pun perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan permasalahan baru. Hal ini bukan dilakukan bukan hanya demi pandangan masyarakat tentang media itu sendiri, melainkan juga untuk menjaga narasumber itu sendiri.
Dalam menangani berita, wartawan memiliki memang memiliki kebebasan dalam menulis. Namun kebebasan itu tetap dibatasi oleh moral, yaitu etika. Memang wartawan dituntut untuk memberikan berita secara cepat, tapi cepat bukan berarti ngawur. Berita yang akan dan telah ditulis itu tetap harus dipertimbangkan kembali dari segi humanisnya serta dampaknya terhadap orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam kasus ini, peliputan yang dilakukan menunjukkan bahwa wartawan melupakan sisi humanisnya, di mana wartawan justru mengekspose kesedihan keluarga korban untuk disajikan kepada publik dalam durasi waktu yang berlebihan. Bahkan penayangan gambar-gambar yang paling menunjukkan ekspresi kesedihan itu tidak hanya diputar satu kali saja, melainkan beberapa kali di dalam program berita yang berbeda-beda.
Etika yang diabaikan dalam dunia komunikasi dapat menghilangkan kepekaan sosial dan rasa peduli terhadap sesama. Komunikasi memang sangat diperlukan di dalam bersosialisasi dan bermasyarakat, dan media adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun dalam berkomunikasi, terutama dalam menyampaikan informasi melalui media, di mana media dapat dengan mudah membentuk cara pandang masyarakat, banyak hal-hal yang harus dipertimbangkan kembali berkaitan dengan etika. Sedangkan masyarakat jaman sekarang sudah terbiasa untuk menyaksikan kejadian-kejadian ekstrim yang disajikan melalui media, sehingga kepekaan mereka akan pelanggaran etika yang dilakukan dalam dunia komunikasi melalui media pun sering tak mereka sadari, bahkan hanya diterima mentah-mentah sebagai sebuah informasi semata.
Sangat disayangkan bahwa di era sekarang ini, nilai etika tampaknya sudah mulai pudar dan bergeser. Banyak tindakan yang dulunya dianggap melanggar etika, kini justru diterima begitu saja oleh masyarakat seakan hal tersebut adalah hal yang biasa-biasa saja dan tidak mengganggu. Salah satu penyebab pergeseran etika, terutama dalam bidang komunikasi, tersebut adalah media massa yang makin meningkat jumlahnya. Dengan berbagai sudut pandang yang dimiliki oleh tiap media terhadap suatu berita, mereka pun mengemasnya sesuai dengan ideologi masing-masing perusahaan dan makin sering melupakan etika yang berlaku secara umum karena tuntutan dari persaingan bisnis dengan perusahaan media lainnya. Akibatnya, mereka seakan membuat batasan baru tentang etika komunikasi yang disesuaikan dengan ideologi perusahaannya masing-masing.
Kesimpulan yang dapat diambil mengenai etika dalam berkomunikasi ini adalah etika sangat dibutuhkan sebagai pedoman dalam melakukan proses menyampaikan dan menerima pesan. Dalam menyampaikan pesan melalui media, tidak boleh hanya memikirkan apakah berita tersebut memiliki nilai jual yang tinggi, melainkan juga memikirkan dampak yang akan terjadi terhadap narasumber, pihak-pihak yang terkait dengan kejadian itu, maupun audience yang menjadi konsumen berita tersebut. Etika juga dibutuhkan untuk menjaga agar informasi yang disampaikan tidak merugikan atau mengganggu privasi seseorang. Pengalaman traumatik yang menyerang kejiwaan seseorang atau narasumber juga patut menjadi pertimbangan sebelum wartawan ingin menggali informasi lebih lanjut. Dengan tetap berpegang pada etika yang ada, maka sisi sosial dan humanis, keadilan, dan kebebasan berpendapat yang sesungguhnya tidak akan terabaikan. (Ay**)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentarnya.!

GTA

GTA
dukungan AKHDIANSYAH

akhdiansyah

wadunggapidompu

Translate